From Dakwatuna
dakwatuna.com
- “Tolonglah saudaramu, baik dia
zhalim atau dizhalimi. Apabila dia zhalim, cegahlah. Bila ia dizhalimi,
menangkanlah.” (HR. Al-Bukhari)
Maha
Suci Allah yang menciptakan alam ini begitu sempurna. Malam dan siang silih
berganti melayani hidup manusia. Terang dan gelap pun menjadi sebuah kebutuhan
makhluk-Nya di seluruh bumi. Tapi, tidak semua yang gelap boleh dibiarkan apa
adanya.
Anggaplah
teguran sebagai hadiah rabbaniyah
Tidak
ada dosa dan kesalahan yang tanpa balasan. Semua akan dibalas oleh Allah swt.,
dalam kehidupan ini atau di akhirat kelak. Bayangkan jika dosa dan kesalahan
bergulir tanpa terasa. Tanpa ada teguran, tanpa ada peringatan.
Menggunungnya
dosa dan kesalahan bahkan bisa menyumbat semua cahaya kesadaran. Orang-orang
seperti ini bukan hanya tidak menemukan pintu kesadaran, justru ia merasa kalau
dirinya tergolong yang dapat petunjuk. Maha Benar Allah dalam firman-Nya,
“Sebahagian diberi-Nya petunjuk dan sebahagian lagi telah pasti kesesatan bagi
mereka. Sesungguhnya mereka menjadikan setan-setan pelindung (mereka) selain
Allah, dan mereka mengira bahwa mereka mendapat petunjuk. [QS. Al-A'raf (7):
30]
Allah
swt. selalu sayang pada hamba-hamba-Nya. Berbeda dengan orang kafir yang terus
mendapat uluran peluang sehingga terus bermaksiat, orang mukmin tidak begitu.
Sedikit bengkok, selalu ada teguran. Ada teguran langsung berupa musibah, ada
teguran tidak langsung yang disuarakan melalui mulut manusia.
Allah
swt. bahkan mencirikan mereka yang saling menegur sebagai generasi yang selamat
dari bencana kerugian: dunia dan akhirat. Maha Agung Allah swt. dalam
firman-Nya, “Demi masa. Sesungguhnya manusia dalam kerugian. Kecuali,
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati
supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.”
[QS. Al-Ashr (103): 1-3]
Anggaplah
teguran sebagai ungkapan sayang
Kadang
sulit menerjemahkan sebuah ungkapan dengan timbangan yang jernih dan lurus.
Termasuk dalam soal teguran. Sederhananya, orang yang menegur diterjemahkan
sebagai lawan yang menyusahkan, bahkan menjatuhkan.
Dalam
timbangan akhlak, nilai sebuah teguran jauh dari terjemahan itu. Bahkan
bertolak belakang. Teguran bukan untuk menyusahkan, melainkan memudahkan.
Teguran bukan ungkapan marah, apalagi permusuhan. Melainkan, justru ungkapan
sayang dan persaudaraan.
Rasulullah
saw. yang mulia mengatakan, “Tiga perbuatan yang termasuk sangat baik, yaitu
berzikir kepada Allah dalam segala situasi dan kondisi, saling menyadarkan satu
sama lain, dan menyantuni saudara-saudaranya (yang memerlukan).” (HR. Adailami)
Teguran
adalah ungkapan sayang yang sejati seorang saudara terhadap saudaranya yang
terjebak dalam kesalahan. Cinta karena Allah, dan benci pun karena Allah. Kalau
bukan karena cinta, mungkin ia tak akan pernah menegur. Karena upaya itu begitu
berat.
Anggaplah
teguran sebagai guru lapangan
Teguran
tidak selalu berhubungan dengan dosa. Tidak selalu berhubungan dengan sesuatu
yang prinsip. Ada teguran yang memang sangat diperlukan ketika sebuah wilayah
teoritis dibumikan dalam wilayah aplikatif.
Dalam hal berumahtangga misalnya. Ketika belum memasuki pernikahan, seseorang merasa sudah paham betul dengan yang namanya berumahtangga. Itu ia dapat dari buku, ceramah, dan sebagainya. Tapi, ketika berumahtangga menjadi sebuah kenyataan, semua menjadi berbeda. Realita kadang tidak selalu mengikuti idealita.
Terjadi
kegamangan di situ. Ada konflik suami isteri. Sesuatu yang dalam teori begitu
indah, ternyata begitu gersang dalam kenyataan di lapangan. Tentu, yang salah
bukan idelitanya. Tapi, cara bagaimana menggapai idealita itu yang belum pas.
Di sinilah, seseorang membutuhkan teguran. Dan teguran saat itu menjadi guru di
lapangan realita.
Anggaplah
teguran sebagai cermin memperindah diri
Ego
manusia selalu mengatakan kalau ia serba sempurna. Tidak ada cacat. Tidak ada
noda. Semua bagus. Kalau ada orang yang menilai lain, pasti si penilai yang
teranggap salah.
Begitu
pun yang mungkin terjadi dalam diri seorang mukmin. Dengan penuh percaya diri,
ia yakini kalau semua langkahnya sempurna. Tidak ada yang salah. Yang salah
adalah jika ada yang menganggapnya salah.
Dalam
sudut pandang Islam, manusia adalah tempat salah dan lupa. Jadi, akan ada saja
kemungkinan kalau seorang mukmin pun bisa khilaf. Kalau seorang ulama pun bisa
salah. Kalau seorang pemimpin pun bisa kepeleset. Saat itu, ia butuh teguran
sebagai cermin yang bisa menyadarkan.
Rasulullah
saw. mengatakan, “Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya. Apabila
melihat aib padanya, dia segera memperbaikinya.” (HR. Al-Bukhari)
Komentar
Posting Komentar