Aku tak peduli
Penulis : Husnia
Aku tak perlu
membagi rasaku kepada siapapun..
Aku tau aku
lemah, sangat lemah saat ini. Namun ada hal yang harus membuatku kuat
“Keluarga”
Sejak kecelakaan
kemaren yang membuat kakiku sakit hingga saat ini, membuatku susah untuk
bergerak melakukan aktifitas normal.
Banyak istirahat
jangan banyakin gerak dulu.
Itu pesan dokter
padaku, aku hanya mengiyakan kata-katanya. Ah.. aku tak perlu manja untuk
urusan ini, selagi masih bisa berdiri mengapa harus berbaring lemah seperti
orang lumpuh?
**
Klakson itu
berbunyi sangat keras sekali, membuatku kaget bukan main, hingga terpaut antara
stang motorku dengan stang motornya membuat motor kami seperti beradu satu sama
lain, hingga rasanya tak sanggup aku menahanya untuk tidak bergerak.
awan menunjukan kegelapaanya, matahari seolah sembunyi dibalik awan itu, badanku terpental jauh diantara kendaraan yang ada dijalan raya, aku sadar badanku sudah terlindas oleh banyak motor dan mobil. laillah haillallah muhammad rasulullah kalimat itu tak henti-hentinya menuntunku dalam kepasrahan.
Bayangan selama aku hidup sudah Nampak sekali seperti Film klasik yang sedang diputar, dari aku yang sering bermaksiat, meninggalkan sholat, mendzhalimi orang, menggunjing orang. Oh Allah akankah aku bisa menghadapamu sekarang? Dengan dosaku yang banyak ini.
“Aku mohon padamu ya Allah, berikanlah aku kesempatan sekali lagi, aku ingin memperbaiki hidupku, menuntun adik-adiku berserta ibuku.”
Kemudian motor itu terjatuh diantara badanku yang membuat perjalanan disini macet karena terhalang oleh motor yang menindihku.
Alhamdulillah, tak henti-hentinya aku bersyukur meski aku tau semua badanku sudah teramat merasakan perih akibat luka-luka oleh gesekan aspal.
Terlebih ketika aku ingin berdiri kakiku langsung lunglai, aku menangis, bukan karena sakit yang aku rasakan, Tapi karena Allah masih percaya padaku, dan tanpa syarat apapun Allah mengabulkan Do’aku disela-sela maut yang sudah teramat dekat.
***
Ingat dengan segala hal penuh dengan cacian, hinaan serta makian membuatku teramat ogah dan muak memaafkan mereka, hatiku begitu sakit mengingat peristiwa beberapa tahun silam. Yang terkadang membuatku mengikuti sumpah atas nama Allah, semoga Allah Menimpakan musibah yang teramat dalam pada mereka dan berharap penduduk langitpun seraya mendadahkan tangan dan berkata “Aamiin”
Ibu mengapa kau masih saja berlaku baik kepada mereka? Setelah apa yang sudah mereka lakukan kepada kita?
Ibu tak bereaksi apapun, menjawab pertanyaanku saja tidak.
Aku paham, ibu tak menginginkan aku memiliki dendam, namun hatiku terlanjur sakit bu, pahamilah izinkalah aku membalas mereka, aku yakin Allah juga akan berpihak padaku, aku yakin. (meski sebenarnya keyakinanku masih sangat kuragukan)
Perjalanku masih sangat jauh, menempuh pendidikan seolah-olah mahal untuk hidupku, belum lagi kedua adiku yang harus kuperjuangkan masadepanya.
Aku tak ingin mereka tidak merasakan bangku sekolah, tak apalah dengan aku nantinya asalkan kedua adiku tetap bersekolah dan tidak menjadi orang yang bodoh.
“Sekali ini saja bu, aku ingin istirahat capek” Ibu menyetujuinya, begitupun denganku.
Keesokan harinya adiku ini cukup pintar sekali dalam berbohong, dari pulang sekolah yang telat. Katanya ada pelajaran tambahan dan ujung-ujungnya sekali ini saja sudah sering aku dengar dari mulutnya.
Aku sudah sangat geram sekali ingin memukulnya, ibu tak pernah melarangku dalam mendidiku adik-adiku, aku tak pernah kasar padanya kecuali dalam urusan belajar.
“darimana kamu?” tanyaku.
“Les, mba. Kan sebentar lagi ujian.”
“sampe jam segini?”
“iya..”
Aku masih belum cukup bukti untuk menuduhnya yang
tidak-tidak. Aku masih percaya padanya.
Keesokan harinya, tepat jam pulang sekolah. ia
bersama 4 orang temanya menaiki sepeda menuju gang, aku masih berfikir positif,
mungkin ia mau belajar bersama.
Terus saja aku mengikutinya, hingga sampailah
disuatu rumah yang terdapat tulisan didepanya “PS 3 /Jam 4000,-“
Tanganku sangat gatal sekali, ingin sekali aku
memukulnya.
“dek” dia syok melihat aku berdiri dibelakangnya.
Aku tau dia ketakutan, melihatku saja dia tak berani.
“ayo pulang” ajaku
Diikuti dengan ayuhan sepedanya yang sangat lamban,
hingga membuatku merasa jengkel dan ingin sekali menendangnya.
Sesampai dirumah, kusuruh ia menganti banju dan
makan siang, ia masih saja diam tak bicara sepatah katapun.
**
“Ngajinya sudah sampe mana mas? “ Tanya ibu
“sampe masjid bu..” jawabnya sambil meletakan tasnya
diatas meja, sembari mengambil remote tv.
Aku yang sedang memasak didapur mendengar
samar-samar percakapan mereka, kuhamipri adiku yang sedang berbaring didepan
tv.
“matikan tvnya.” Dia mengikuti intruksiku, lalu duduk menyender didinding dan tepat menghadapku, hingga kami seolah sedang berdiskusi berdua.
Mba mau lihat, ngajimu sudah sampe mana? Tanganya bergerak meraba-raba tas yang diatas meja dan mengambil Iqro.
Dan menunjukan padaku Jilid 4, mataku melotot dan tanganku gemetar begitu hebatnya.
“Baru sampe sini? Dari dulu itu kamu ngaji baru sampe sini?.
Dia diam menyimpan ketakutan, aku paham aku sangat kasar kepadanya terlebih tentang pendidikan.
“Coba, mba mau nanya kamu selama ini kalau disuruh ngaji, ngaji nggak?”
“Nga-ngaji kok mba.”
“jangan bohong !”
Kamu, suruh ngaji susah.. padahal mba tidak pernah melarang kamu untuk apapun itu, segala apa yang kamu mau, mba turuti, beli sepeda, tv, aquarium, Tamiya. Tapi ini kamu tidak tau terimakasih, mau jadi apa kamu? Kecil-kecil pandai berbohong. Mau jadi apa?
Lihat ini, kakiku sakit, aku paksa kerja, itu untuk siapa? Untuk kamu. Tapi ini balas terima kasihmu?
Aku teriak-teriak seperti orang gila, yang mungkin sering tentanggaku sebut aku sudah gila.
***
Bu, aku berangkat..
Teriaku pada ibu yang sedang berbaring menidurkan adiku yang masih berumur 1 tahun.
Ibu menghampiriku sambil menggendong adiku.
Kucium tangan dan pipi ibuku, sehingga do’a itu keluar dari mulutnya. “Hati-hati dijalan mba.” Semangat belajarnya.
Aku mengganguk sembari memakai helm. “Bu, Bilang sama Arsyad jangan lupa ngaji.”
Ibu hanya mengangguk dan mengepal tangan adiku yang kecil menyuruhnya untuk dada Kepadaku. Aku tau sekerumpunan ibu-ibu yang sedang duduk itu sedang mencibirku, rasanya ingin kubunuh saja mereka satu persatu. Segera kupercepat laju motorku tanpa menghiraukan mereka.
**
Aku harus cuti kuliah, dan focus kerja dulu.
Diana hanya diam sambil mengoyang-goyangkan sedotan yang ada digelasnya.
“kenapa?.
“adiku sekarang sudah kelas 6 di, aku harus memikirkan biaya masuk sekolah dan keperluan lainya.
“lalu kuliahmu?”
Aku menghela nafas panjang dan memikirkan jalan keluarnya.
“aku hanya cuti, bukan berhenti.” Diana mulai menatapku serius
Myesha, bukankah sekarang sekolah SMP-SMA gratis? Jadi kamu masih tetap bisa kuliah kan? Nggak perlu cuti kuliah segala.
Iya aku tau, tapi aku igin adiku masuk pesantren untuk menyelamatkan ngajinya dan hafalanya.
Aku ingin dia menjadi yang terbaik, setelah mereka sudah meremehkan kami. Dyana cukup berhati-hati bicara, untuk hal yang serius ini.
“aku selalu mendukungmu Mye.”
Lalu aku bisa bantu apa untukmu, dyana mulai menawarkan diri.
Cukup kamu mendukungku dan mejadi sahabat baiku, itu sudah lebih dari cukup.
***
Apa pesantrean? Adiku syok mendengar
ini.
Tidak mba, aku tidak mau.
Aku tak perlu persetujuan darimu, mau atau
tidaknya kamu tetap saja aka ku kirim kepesantren. Dia mulai marah
memukul-mukul diding, aku membiarkanya memberontak,dia mulai mencari pembelaan
dari ibu. Tapi ibu diam tidak membelanya sedikitpun.
Dasar gila !
Sambil lari ke kamar dan menguncinya dari
dalam, sakit sekali hatiku adiku mengatakan aku gila. Iyaa aku gila, karena
kegilaanku aku yakin kau menjadi orang penghafal Qur’an nantinya.
“Mba..”
“Iyaa..”
“Sekarang ini juzama sudah kuhafal
fasih, dan sekarang aku mulai mencoba hafalan Surah Al-Baqarah, itu juga aku
sudah menghafal lebih dari separohnya.
Dan aku janji mba, aku akan lebih giat
hafalan, lagipula sudah 2x juga aku mengantongi Piala, aku sudah bisa banggain
mba dan keluarga kan? Aku ingin melanjutkan sekolah negri aja. “Pesantren,
tidak ada tawar menawar.” Adiku mulai mengalah dan menuruti intruksiku
Setelah berhasil kukirim adiku
kepesantren, Aku bisa focus kerja, sebenarnya tanpa cuti kuliah aku bisa kerja
tapi aku kerja 2x pagi dan malam untuk bisa membiayai adiku dan biaya kuliahku.
**
Alhamdulillah, 6tahun berlalu aku lulus
dengan predikat terbaik dari kampusku, adik pertamaku menjadi penghafal
Al-qur’an dan dia sekarang mendapatkan Beasiswa untuk melanjutkan Studynya Ke
Kairo, Dan Hinaan, celaan, cacian itu adalah bentuk dari kasih sayang Allah
kepada keluargaku.
خَيْرُكُمْ
مَنْ تَعَلَّمَ الْقُرْآنَ وَعَلَّمَهُ
“Sebaik-baik kalian adalah orang
yang mempelajari al Qur’an dan mengajarkannya”.
Boleh jadi
kamu membenci sesuatu,
padahal ia amat baik bagimu, dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai
sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu;
Alloh mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. [QS Al-Baqarah: 216]
Seperti itu
kadang kita memang tidak pernah tau, hikmah apa yang tersimpan diantara
kejadian. Seringkali kita membenci sesuatu yang buruk, namun dibalik itu banyak
hikmah yang luar biasa, seringkali kita menyukai yang baik, namun terkadang
membuat kita terlena.
Andai saja
kita tak peka dalam keadaan kita tidak akan mampu mengambil hikmah dari keadaan
itu.
Andai saja Allah tidak Kirimkan
kepadaku suatu musibah, mungkin Aku tidak akan menjadi seperti ini.
Aku
tidak peduli keadaan susah
dan senangku. Karena aku tak tahu, manakah di antara keduanya
itu yang lebih baik bagiku. [Umar bin Khatab ra.]
~END~
BIODATA PENULIS
Komentar
Posting Komentar