Perjuangan Ibunda (Edisi Revisi)
Bangun nak,
sudah siang ayo buruan mandi habis itu langsung berangkat sekolah. Teriak ibu
tepat di depan pintu kamar.
Akupun hanya
diam dan menutup kuping dengan bantal.
“ ayo nak..
sudah siang nanti terlambat”
“ iya bu..
5menit lagi” sambil menarik selimut” lima menit pun berlalu tapi akupun tak
kunjung bangun dan mandi.
Astagfirllah
nak..
Iya ibu.. ini
juga mau bangun.
“Ayo buruan
udah jam tujuh”
“ ah bawel banget sih bu.. pagi-pagi udah
marah-marah” Kataku sambil memakai sepatu.
ibu hanya
menggeleng kepala
“Kamu nggak
sarapan nak? Tanyanya
“ nggak bu, aku
mau makan di kantin sekolah aja” kataku sambil berlalu
##
“ Zahra jam
berapa sekarang?? Tanya bu mira kepadaku.
Aku hanya diam
dan melirik jam dinding.
“ jam setengah
delapan bu.. jawabku santai” serentak seisi ruangan bersorak mentertawakanku.
“ diam..!!!!
suasana kembali hening. Kamu niat sekolah nggak ra?? “ Tanya bu mira.
“ kalaupun saya
nggak niat sekolah pastilah saya nggak bakal berangkat bu.. “ jawabku dengan
nada kesal
Ibu mira hanya
menghela nafas panjang sambil mengelus dada
“ baiklah
Zahra, kamu boleh duduk sekarang”
##
Baru pulang
nak?? Sapa ibu padaku, aku hanya diam dan meninggalkan ibu.
“ Ra.. buka
pintunya nak, ibu mau bicara” sambil mengetuk pintu
“ Zahra capek
bu, mau tidur “ jawabku
“ Baiklah nanti
saja ibu bicaranya”
Gubrakkk…!!!
Terdengar suara
tendangan pintu, akupun terbangun dari tidurku. ibu tersungkur dilantai, akupun
lari dan menghampirinya.
“ ibu.. ada
apa? Siapa yang melakukan ini semua bu? Isak tangis pun pecah Ibu hanya diam
dan memeluku.
Ibu, jawab
pertanyaan Zahra bu.. ada apa??
“siapa yang
melakukan ini semua? Ayah bu? Ada apa sih bu, Kenapa ayah tega melakukan ini.
zahra kamu ajak
aisyah ke kamar ya nak, ibu mau bicara sama ayah “ suruh ibu
Akupun hanya
mengganguk sambil mengajak aisah
“Kak lala, ayah
sama ibu kenapa kak? Tanya aisyah. Aku hanya memluk aisyah dan menenagkanya
***
Aku
tercengang saat ibu menceritakan siapa aku sebenarnya, air mata yang ku
tahan-tahanpun tak lagi sanggup aku bendung dan pecah.
Nyatanya orang
yang selama ini aku anggap pahlawan itu bukan pahlawan, ia tak lain adalah
bajingan yang kelaparan akan harta duniawi.
Rasanya aku
kecewa saat ini, ingin aku teriak pada Tuhan, bahwa kehidupan ini tak adil
buatku.
“ aku salah apa tuhan, hingga kau beri ujian
yang sedemikian beratnya, tak puaskah engkau dengan ibadahku? Masih kurangkah
aku mengikuti semua perintahmu?”
Lalu dimana engkau saat aku sedang sulit? Dimana pertolongan yang
engkau janjikan amat dekat itu?
Aku kecewa padamu Tuhan, tak habis-habisnya aku memaki tuhan, dalam
sujud panjang malam.
Berbalik dengan
ibu yang begitu Nampak tegarnya menghadapi ayah. Sedangkan aku sedang berusaha
untuk mencari kambing hitam yang bisa melampiasan amarah yang memucuk dalam jiwa.
“ aku bukan anak kandung ayah “ kalimat
itu masih terngiang dalam-dalam dalam otaku.
####
Rasa
canggungpun sudah mulai terasa pada diriku yang tadinya aku bermanja-manja sama
ayah, kini akupun membatasi diri.
Kulihat ayah
akhir-akhir ini mulai berubah tak lagi mau kerja dan hanya uring-uringan dirumah, sedangkan ibu tiap hari harus ke
ladang dan membawa si kecil aisyah.
Aku kasian
lihat ibu, sekarang badan ibu makin kurus, terkadang kulihat ibu menagis tapi
ibu selalu menyembunyikanya padaku.
“ mutia, mutia,
buka pintunya jangan pura-pura nggak tau yaa.. aku tau kamu ada didalam”
Sambil
mengedor-gedor pintu
akupun keluar
dan menghampirinya
“ iya pak ada
apa? Ibu mutianya lagi diladang pak” sahutku
“kamu susulin
ibu kamu, saya ada urusan penting sama ibu kamu”
“ baik, pak
tunggu disini saya pergi dulu ke ladang”
“Bu.. bu… “ teriaku pada ibu
“Ada apa nak,
kenapa ??”
“ ibu buruan
pulang ada orang yang nyariin ibu “
“ siapa?? “
“Udah sana itu
juga paling si harto nagih hutang kan aku janjinya hari ini bayar hutangnya”
Sahut ayah
santai
“ harto yah?
Siapa harto? Hutang apa yah? Ibu ngga pernah punya hutang sama orang.”
“ udah temuin
aja sana” bentak ayah
Akupun makin
benci lihat tingkah ayah yang kasar sama ibu.
“Iya pak, ada
apa??”
“kamu mutia
ya??” Tanya pak harto
“ iya pak saya
mutia, ada apa ya pak?”
“ suami kamu
punya hutang sama saya 15juta, dan katanya kamu yang akan melunasinya hari ini”
“ 15 juta?
Untuk apa suami saya hutang sebanyak itu pak?”
“ tanyakan aja
sama suamimu, sekarang mana uangya cepat!!!.” Dengan nada keras
“ tapi uang
dari mana saya sebanyak itu pak?”
Allah jeritku. Ibu memeluku
erat.
Sudah larut
malam ayahpun tak kunjung pulang, aku berusaha untuk tidak tidur, rasanya ingin
ku luapkan amarahku pada laki-laki itu.
Krekkkk…
Terdengar suara
pintu terbuka.
Akupun lari ke
ruang tamu, ternyata dia pulang.
“ sudah puas
kau menyakiti hati ibuku wahai bapak herman “ ketusku
Dia pun hanya
diam, entah diam karena merasa bersalah atau karena apa
Emosikupun
meluap kata-kata yang tak sewajarnyapun keluar dari mulutku.
Hingga tak sadar
tanganya pun melayang menamparku.
“ kenapa hanya
kau tampar herman, bunuh saja aku, bunuh. Kenapa diam Haa?”
Dia pun
mendorongku hingga aku tersungkur kelantai.
“ cukup yah,
cukup..” ibu menghampiriku
###
Hari
itupun datang hari dimana ibu harus pergi meninggalkan aku, si kecil aisyah
menangis melihat kepergian ibunya.
Ku lihat ayah
menunjukan sikap biasa aja, sedihpun tidak tampak di wajahnya.
Setiap malam
aisyah menangis mencari ibunya, aku sedih dengan keadaan ini, aku binggung.
Rasa kehilangan
itu muncul, biasanya dini hari ibu bangun untuk meyiapkan sarapan dan baju
untuk keperluan sekolahku. Tapi sekarang aku harus apa-apa sendiri, belum lagi
aisyah yang tak henti-hentinya menagis, aku hanya diam meski satu rumah dengan
ayah bicara denganya pun rasanya malas, jika melihat wajahnya selalu ada
kenbencian yang selalu muncul
“ ra.. kamu
berhenti sekolah saja, karena aisyah tidak ada yang ngurus, ayah harus kerja
untuk kebutuhan kita.” Kata ayah
“ apa? Itu hal
yang tidak mungkin, aku mau nerusin sekolah itu pesan ibu padaku”
“ terus sekolah
kamu siapa yang mau bayarin??”
Aku hanya diam.
Aku pergi ke
tempat pamanku, aku adukan semua yang terjadi padanya berharap ia bisa membantu uang
sekolahku.
Namun yang
terjadi justru sebaliknya, keadaan paman sedang susah saat itu, belum lagi
sikap istrinya yang sudah bisa dibilang gila harta. Dan rasanya aku tak sanggup
untuk menjadikan diriku sebagai tambahan beban untuknya.
Rasanya aku
benar-benar kecewa, aku benar-benar tak percaya tuhan lagi. Mengapa semua orang
bisa tertawa bahagia sedangkan aku harus merasakan pahitnya kehidupan ini.
Bersambung…
Komentar
Posting Komentar