Tulisan yang belum terselesaikan

“Aku akan mempersiapkan semuanya.”
“Kamu yakin dengan keputusanmu tih? yakin bakalan betah hidup di desa?”
“Iya..  gue yakin. Gue juga harus memajukan desa gue Mbak, percuma aja rasanya gue sekolah tinggi-tinggi kalau cuma buat diri sendiri, gue mau menerapkan ilmu yang gue dapet di desa nanti”
“Lu nggak sayang, gaji lu kan udah gede. Terus kalau lu didesa lu mau kerja apa? lu juga butuh makan kan?  di desa gajinya kan kecil emang cukup?.”
“Yang sedikit tak selalu kurang mbak, begitupun yang banyak belum tentu cukup. Bila kita tidak ada syukur seberapa banyakpun yang di dapat tetap saja akan kurang.”
“Yaudah gue sih terserah lu aja, tapi kalau lu berubah pikiran perusahaan ini bakalan tetep nerima lo lagi kok.”
“iyaa mbak terimakasih..”
Pitu terbuka perlahan karena dorongan angin malam, lalu menyeret hawa dingin memasuki ruangan yang sudah kosong, aku tau ini berat. Semoga keputusan ini tak berujung penyesalan.
Malam ini waktu terasa amat lama sekali, mataku juga terasa pegal karena tak bisa tidur 2 malam, di tambah gejolak yang tak kunjung ada akhirnya, pertimbangan dan keputusan yang seketika membuatku menggalau dan merusak waktu tidurku.
Apakah keputusan ini benar? ataukah hanya pelampiasan oleh rasa bosan? lalu apa benar nanti juga merasakan hal yang sama saat tinggal di desa?

**
Mobil melaju sangat kencang menelusuri jalanan Jakarta yang mulai senggang, tidak ada percakapan diantara kami berdua hanya ada bunyi sen mobil saat hendak menyalip kerumunan kendaraan lain.
Keputusan untuk pindah dari ibu kota bukan hal yang mudah bagi orang yang sudah terbiasa dengan suasana kota dengan segala kemudahan. Beda sekali dengan kehidupan di desa, untuk mendapatkan sesuatu sangatlah sulit sekalipun itu hal yang sangat sepele.
Dulu saat masih remaja berkeinginan untuk menjadi orang kota, hiidup dikota memiliki kendaraan mewah, rumah megah dan bekerja diperusahaan bonafit, namun mimpi-mimpi itu ternyata runtuh saat jenuh mulai merasuki  diri, saat realitanya tingkat strees dan udara yang penuh polusi menjadi makanan setiap hari. Berangkat pagi pulang sore, terus kita juga harus menghadapi padatnya jalanan karena macet disana sini padahal badan sudah sangat lelah dan ingin merebah itu selalu berulang dari senin sampai dengan jum’at, sabtu minggu? Iyaa emang libur, tapi itu pasti digunakan untuk istirahat karena pun keluar disabtu minggu pasti berhadapan lagi dengan kemacetan, kebisingan dan polusi yang sangat tidak sehat.
Ahh Jakarta..
Aku tau di kota ini aku bisa mewujudkan segala mimpi, membeli barang-barang mewah yang selama ini aku ingini yang aku fikir itulah bahagia, tapi ternyata tidak. Jiwa ini perlu juga nutrisi, ingin diisi oleh udara segar, air jernih mengalir dan tentunya tidur nyenyak.
Adalah hal yang sulit untuk memulai beradaptasi dengan lingkungan baru, lingkungan yang kau sendiri akan tau disini tak akana da lagi akses internet super cepat seharian, tak mudah lagi jika harus mencari perpustakaan besar untuk sekedar menyender dan mencari buku bacaan.

***
“Silahkan ke lantai VI untuk urus datanya bisa ketemu staff akademik.”
Gue harus ke lantai 6 menaiki anak tangga, karena lift penuh sesak dan antrian panjang yang tentunya akan memakan banyak waktu bila menunggu. Kebayang gimana rasanya? kaki gue mau lepas rasanya, urat-urat di pergelangan dengkul rasanya kram, ditambah belum sarapan yang menambah nafas serasa sesak.
Sesampai dilantai tujuan, masih harus nyari ruangan.  
Memasuki ruangan dosen tak nampak dosen pembimbing disitu, yang ada hanya beberapa dosen yang pernah ngajar dulu. Aku menghampirinya dan basa-basi sekedarnya.  
“Pak, Pak Ari kemana ya?”
“Baru aja keluar, tadi sih ada. Tunggu aja entar juga balik lagi.”
“Oh, Baik pak..”
“Eh kalian, Saya sudah nunggu dari sepuluh menit yang lalu. Kan janji jam 8..”
“Oh iyaa pak, maaf .. sambil ngelirik jam di pergelangan tangan. Ternyata jam menunjukan 8 lewat 7 menit”

**
Seperti biasa setiap senin pagi jakarta macet melebihi biasanya. Bias muka masing-masing pengendara membunyikan klakson sambil menggerutu seru, kadang sebal liat tingkah mereka, memangnya dengan mereka bertingkah seperti itu akan memberikan dampak apa pada kemacetan? tidak ada kan? kenapa mereka tidak berangkat lebih awal saja daripada di jalanan mengendarai kaya setan yang malah membahayakan.
Belum lagi wajah-wajah mereka yang terlipat, mirip sekali seperti siluman berbedak tebal tapi terlihat setiap kerutan diatas kening yang membuatku menahan tawa. Apakah itu yang disebut bahagia? Berangkat pagi buta, pulang saat gelap gulita. Lalu rupiahnya  di habiskan untuk memenuhi hasrat agar terlihat “wah” saja.

~
Kulihat di persimpangan lampu merah, seorang lelaki tua membahwa kantung kresek dan tangan sebelahnya lagi membawa tissue, wajahnya lesu payah entah mengapa hatiku rasanya sakit melihat ini, seperti ada yang mendorongku agar menghampirinya dan membeli semua daganganya.
Sayang, saat itu aku tak ada uang cash, hanya ada 2 ribu rupiah di saku tas ranselku.
“Ya Allah, berikanlah ia rezeki yang berkah. Aamiin..”
Aku berlalu seperti ada beban yang besar di pundaku, berat sekali rasanya untuk melangkah jauh darinya dan berpura-pura seolah tak melihat apa-apa, dan masa bodo sekali dengan kesulitanya.

**
Kata Nanta kalau wanita sudah mulai suka dengan kesendirianya itu bahaya. Tapi bagi gue yang ngejalanin sih enjoy aja, malah merasa los tanpa beban apa-apa tentang perasaan. Waktu, Energi semuanya sangat membahagiakan saat sedang sendiri, tak perlu repot lagi jika tak ada kabar setiap beberapa jam sekali, dan menunggu kabar yang kadang menyesakan hati.

**
Semalam makan apa emang? kok sampe sakit perut gitu? “apa yaa? Gue mencoba mengingat-ingat lagi. Oh semalam makan tempe mendoan yang beli didekat persimpangan jalan sebelahnya pangkalan ojek dekat jalan palima polim. “Hmmm pantesan, disana kan tempatnya kotor lagian nggak liat-liat tempat dulu kalau jajan.” Kebiasaan kita menyalahkan makanan saat sakit tiba, padahal itu sakit itu juga bagian dari Takdir Allah, mungkin untuk mengurangi dosa-dosa yang menumpuk.
~~
Hanya butuh waktu saja untuk menerima semuanya.



**
Proses
Saat kita dulu kita masih kecil dan saat kita belajar jalan tentu ada prosesnya bukan? awalnya jalan masih tertatih-tatih, jatuh lalu bangun lagi kemudian bangun untuk jatuh lagi begitu seterusnya sampai akhirnya kita bisa berjalan dengan sempurna seperti sekarang, apa yang hendak kita pelajari? adalah  ‘proses’ dan ‘terus mencoba’ pantang menyerah dan putus asa. Namun saat kita beranjak dewasa, kita menjadi manusia yang tumbuh penuh dengan pesimisme dikit saja gagal seperti dunia mau runtuh, merasa kita memang manusia gagal, kita marah, kesal dan melemparkan kekesalan dan kekecewaan pada yang kita anggap sebagai  ‘sumber’ penyebabnya. Padahal jika kita ‘mau’ belajar mau memahami tentu kita lebih legowo menerima semua Takdir baik dan Takdir buruk yang sudah Allah tetapkan. Entah sudah berapa banyak yang kita terima tapi tak sedikitpun kita syukuri bahkan kita sering ‘ingkar’ namun saat musibah dating kita adalah manusia yang pandai sekali menuntut dan mudah sekali murka.

**
Membuntut
Sudah beberapa tahun belakangan bullying semakin merajalela, perkataan sadis dan kotor makin sulit di bendung itu semua terjadi di era teknologi, orang bebas mengungkapkan apapun tanpa khawatir di ketahui indentitasnya.
Dosa adalah sekat bagi orang Islam, bahwa segala sesuatu pasti akan mendapatkan balasan sekecil apapun perbuatan itu.
Beberapa tahun ini ada satu manusia ‘penting’ di Indonesia yang sering di bully para nitizen, akupun pernah mengekor ikut yang lain membullynya, menertawakan serta meremehkan karena mayoritas pun melakukan hingga kebaikan-kebaikanya tak nampak di mataku bahkan di mata yang lain, tapi aku juga tak faham betul bagaimana keadaan yang sesungguhnya aku hanya ‘mengekor’ seharusnya aku tak melakukan hal itu. Jika benar seburuk yang mereka katakan harusnya aku ikut andil dalam mendoakan tapi nyatanya tidak. Aku mengghibahinya bahkan ikut serta menjadi ‘kompor’ agar yang lain turut mengikuti mayoritas.
Aah.. aku punya akal tapi tak aku gunakan, kenapa aku hanya ‘mengekor’ bagaimaga jika nanti seluruh ucapanku, tindakanku di pertanggung jawabkan di hadapan-Nya?
Ya Allah maafkan aku..
Lemah sekali hatiku, aku mudah terbawa ideologi mayoritas tanpa mau mencari tau kebenaranya.

**
Ada mahasiswa yang focus belajar totalitas dan sungguh-sungguh dalam menjalankan ‘peran-nya’ sehingga tak mengharapkan apa-apa selain  melakukan yang terbaik. Kemudian balasnya adalah ‘lulus tepat waktu, lulus dengan nilai terbaik kemudian setelah lulus bekerja di perusahaan bonafit.
Ada juga seseorang yang bekerja tak mengharapkan penilaian bahka reward dari pekerjaanya, dia melakukan dengan penuh ridho dan ikhlas. Namun kemudian yang terjadi Allah balas ke ikhlaskanya dengan hadiah yang tak di sangka-sangka bisa keliling 4 negara dan hadiah umroh di dapatkanya dari tempat ia bekerja.
Yaa.. kuncinya adalah Ikhlas serta Niatkan semua untuk Ibadah kepada Allah, tak usah memikirkan balasan apa-apa karena setiap apa yang di niatkan akan dapat balasan yang serupa.

**
Yang sedikit.
Entah kenapa sesuatu hal yang sedikit terasa nikmat

Komentar

Postingan Populer